Kamis, 02 Juli 2009

Ironi Anak Indonesia


Ironi masih menjadi bagian dari kehidupan anak-anak Indonesia. Lembaga Pendampingan Anak LAdA Lampung mencatat, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum pada tahun 2007 menurun dibandingkan dengan tahun 2006. Jika pada tahun 2006 sebanyak 157 anak terlibat kasus hukum, pada tahun 2007 hanya 115 anak. Dede Suhendri, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Lampung mengatakan, dari jumlah kasus itu mengalami sedikit kenaikan. Dari 106 kasus pada tahun 2006 menjadi 113 kasus pada tahun 2007. Sementara dari jenisnya, tiga kasus yang paling menonjol adalah pencurian yang menduduki peringkat teratas sebanyak 59 kasus, diikuti kasus penganiayaan 12 kasus, dan pemerkosaan 9 kasus. Kasus lainnya yang terjadi adalah perbuatan tidak menyenangkan 7 kasus, perampokan 6 kasus, penjambretan 5 kasus, narkoba 5 kasus, pemalakan 3 kasus, penodongan 2 kasus, pembunuhan 2 kasus, perjudian 2 kasus, dan pembegalan 1 kasus.

Di Jawa Timur, selama Januari - Oktober 2008 terjadi 217 kasus pemerkosaan, dari jumlah itu, sekitar 75% pemerkosaan terjadi pada anak-anak. Bahkan selain Surabaya, Malang sudah menjadi transit tempat pengiriman dan tujuan anak-anak yang terlibat kasus eksploitasi seksual di Indonesia. Menurut, Kepala Bidang Advokasi dan Fasilitasi Tindak Kekerasan Anak (Aftinka) Kementerian Pemberdayaan Perempuan Elvi Hendrani, kota Malang dan Kabupaten Malang, disebut sebagai kota pengirim korban-korban trafficking. Sedangkan kota Surabaya menyandang tiga status sekaligus, yaitu sebagai daerah pengirim (asal korban), transit, hingga daerah tujuan anak-anak korban trafficking. Dalam dua bulan saja, yakni bulan April hingga Mei 2009, berhasil menemukan enam kasus Eska dari berbagai wilayah di Malang. Sementara, orang-orang yang terlibat dalam memuluskan perdagangan anak tersebut, ternyata berasal dari orang-orang dekat korban. Seperti teman-teman korban, tetangga, hingga saudara korban sendiri.

Demikian memprihatinkan kondisi anak-anak kita. Meski sudah ada Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ternyata tidak cukup memberi perlindungan untuk anak-anak kita. Dra. Magdalena Sitorus Wakil Ketua II KPAI 2007-2010 mengakui perlindungan anak masih belum tertata dengan baik dari segi kebijakan, hingga saat ini. Ini karena banyak kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak tidak menggunakan konvensi hak anak sebagai dasar pertimbangan.

Agenda peringatan hari anak nasional 23 Juli 2009 mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Hak Anak menjadi Undang-undang. Bagaimana sebenarnya isi dari Konvensi Hak Anak yang disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989? Sesungguhnya ada hal-hal yang harus menjadi perhatian kaum muslim :
Dalam artikel 1 Konvensi Hak Anak disebutkan, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Isi pasal ini sebenarnya sudah diadopsi UU Perlindungan Anak. Dalam pasal 1 UU PA disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Standar apa yang digunakan hingga muncul angka 18 ini? Apakah penelitian ilmiah, nilai-nilai budaya, agama atau apa? Ini tidak dijelaskan dalam UU PA. Namun bila dirunut asal muasal munculnya UU PA yang merupakan hasil rativikasi KAH PBB, maka definisi ini bersumber pada nilai-nilai budaya sekularisme yang menafikkan agama sebagai pengatur kehidupan. Karena itu, definisi ini jelas absurd, bahkan sarat kepentingan.
Hal ini bisa kita buktikan dengan mengkaitkan definisi tersebut dengan pasal-pasal lain dalam UU PA. Misalnya dengan Pasal 26 ayat 1c UU PA yang berbunyi “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.” Artinya, orang tua berhak melarang anak yang belum berusia 18 tahun untuk menikah. Jadi, penetapan anak sebagai mereka yang berumur sebelum 18 tahun sangat terkait dengan larangan pernikahan usia dini. Dengan jargon menjaga kesehatan reproduksi remaja, mereka membuat pernyataan bahwa nikah dini membahayakan fisik dan kejiwaan anak-anak. Sebuah asumsi yang masih layak diperdebatkan.

Padahal, pelarangan menikah pada usia anak seperti didefinisikan mereka, sejatinya justru mengebiri hak anak itu sendiri. Sebab, itu berarti tertutup peluang bagi mereka yang berusia kurang dari 18 tahun untuk menikah, walau dia sudah matang dan siap secara ekonomi, biologis dan pola pikir. Di sini telah terjadi pelanggaran atas hak seksual anak tersebut. Di sinilah letak kesalahan pendefinisian “anak” versi UU PA.

Apalagi, seiring semaraknya produk-produk pornografi dan pornoaksi, kematangan biologis anak saat ini terpacu sangat cepat. Usia puber analk-anak saat ini jauh lebih maju dibanding zaman dahulu. Ketika darah mudanya bergejolak karena rangsangan luar tersebut, ia membutuhkan pemenuhan dan penyaluran. Lantas jika pernikahan dini dilarang, ke mana mereka akan menyalurkannya?

Di situlah muncul persoalan. Anak-anak dan remaja akhirnya digiring menuju pintu seks bebas, karena pintu pernikahan tertutup bagi mereka. Tak ayal, seks di luar nikah, pencabulan dan pemerkosaan di kalangan orang di bawah usia 18 tahunpun merajalela dewasa ini. Ditambah lagi, sengaja atau tidak sinetron-sinetron di layar kaca yang bertema nikah muda selalu mencitrakan gambaran negatif. Seakan-akan menikah muda itu sangat buruk.

Memang suatu kenyataan, kematangan biologi anak-anak masa sekarang kebanyakan tak diimbangi kematangan berpikir dan keberanian menentukan sikap hidup. Tetapi memberikan solusi pelarangan menikah di bawah usia 18 tahun, bukanlah solusi tepat. Alangkah lebih baik jika merancang program-program agar anak-anak dan remaja memiliki kematangan dalam berbagai hal secara benar dan bertanggung jawab. Anak-anak harus dipahamkan hak dan kewajibannya sejak dini sehingga segera memahami perannya kelak, baik sebagai seorang individu, ayah, ibu, anggota masyarakat dan negara. Di sinilah perlunya pondasi agama (baca: Islam) diperlukan.


Termasuk dalam mendefinisikan “anak”, sangat jelas jika mengacu pada ajaran Islam. Mengapa Islam? Adalah kewajaran belaka jika nilai-nilai agama mayoritas penduduk Indonesia yang dijadikan sumber hukum.

Dalam agama Islam definisi anak sangat jelas batasannya. Yakni manusia yang belum mencapai akil baligh (dewasa). Laki-laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan dengan menstruasi. Jika tanda-tanda puber tersebut sudah tampak, berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi dikategorikan “anak-anak” yang bebas dari pembebanan kewajiban. Justru sejak itulah anak-anak memulai kehidupannya sebagai pribadi yang memilkul tanggung jawab. Termasuk ketika ia telah matang dan memilih untuk menyalurkan kebutuhan bilogisnya dengan pernikahan, maka tidak boleh dilarang.
Pada artikel ke 12 Konvensi Hak Anak disebutkan negara harus menjamin anak yang mampu membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapat-pendapat tersebut dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu, pendapat-pendapat anak itu diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si anak. Hal ini memerlukan penjelasan lebih lanjut tentang pendapat apa yang diutarakan anak. Jika pendapat tersebut sesuai dengan syariah, maka pendapat tersebut harus didukung. Namun jika yang diutakan anak justru pendapat-pendapat yang bertentangan dengan hukum syara’ maka tidak selayaknya pendapat itu didukung bahkan harus dihapus. Orang tua mempunyai kewajiban untuk meluruskan pendapat anak yang salah dengan standar syara’. Dalam konvesnsi tersebut tidak jelas memberi standar yang harus digunakan untuk memberi batasan atas kebebasan anak memngutarakan pendapatnya.
Dalam artikel ke 13 dan 14 Konvensi Hak Anak tersebut disebutkan bahwa anak mempunyai kebebasan berekspresi, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak. Negara-negara Pihak harus menghormati hak anak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan beragama. Negara-negara Pihak harus menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua, dan apabila berlaku, wali hukum, untuk memberikan pengarahan pada anak dalam melaksanakan haknya dengan cara yang sesuai dengan kemampuan anak yang sedang berkembang. Kebebasan untuk menyatakan agama seseorang atau kepercayaan seseorang, dapat tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau kesusilaan atau hak-hak atau kebebasan-kebebasan dasar orang lain.
Jika kita kaji dua pasal tersbut, kebebasan berekspresi yang tanpa batas justru mengarahkan anak untuk berpikir liberal. Terlebih dalam kebebasan beragama. Menjadi kewajiban orang tua untuk mengarahkan pada anak, bahwa Islam adalah agama yang terbaik. Bukan memberi pilihan untuk anak beragama selain Islam.
Solusi dari masalah anak-anak di Indonesia adalah dengan jalan mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai ajaran moral dan agama. Kedua nilai ini lebih bersifat mapan dan karena negara ini berlandaskan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga sangat wajar nilai-nilai agama menjadi rujukan utama rakyat Indonesia.

Fungsi keluarga akan berjalan dengan baik dimulai dari pembenahan kualitas calon pasangan suami istri, calon ayah dan ibu, dan suami istri. Mereka hendaklah diberikan pembinaan dan pembekalan memadai supaya paham betul hak dan kewajiban sebagai seorang ayah dan ibu terhadap anak. Disamping memahami tangggung jawab mereka dalam melindungi hak-hak anak-anak mereka. Negara khususnya Departemen Agama memfasilitasi segala upaya pengembalian fungsi keluarga terutama ibu pada posisinya semula.

Kamis, 28 Mei 2009

Dan Konstituen pun Minta Disuap

Beberapa waktu lalu saya mendapat cerita unik dari dua anggota legislatif DPRD Jatim. Cerita ini dari pengalaman kampanye dari satu tempat ke tempat lainnya. Ceritanya hampir sama tentang money politics.

Sebuah kelaziman, setiap datang masa kampanye inilah saatnya rakyat berpesta. Namanya juga pesta demokrasi. Uang bertabur dimana-mana. "Konstituen sekarang tidak mau kalau kita (anggota dewan) hanya membantu membangunkan fasilitas umum," begitu keluh kesah satu diantara anggota DPRD Jatim. Ia mengatakan, sudah memuluskan jalan di suatu wilayah. Memperbaiki jalan, mengaspal sampai mulus, dan memperbaiki fasum-fasum lainnya.

Fasilitas umum sudah diperbaiki, tapi tidak membuat rakyat puas. "Kalau pembangunan jalan kan memang sudah kewajiban pemerintah, Pak. Nggak ada hubungangannya dengan memilih anda nanti di pemilu," kata salah satu pengurus kampung.

Lha terus apa lagi?

"Kalau mau kami memilih Bapak, ya bayar dong per kepala!"

Waks,....

Harga per kepala (1 suara) sekitar Rp 20.000,-. Mana janjinya pakai ucapan "Demi Allah, saya memilih caleg..."

Pragmatisme, akhirnya jadi jalan keluar untuk rakyat yang sangat haus kesejahteraan. Pembelaan elit politik pada kesejahteraan rakyat sangat minim. Wajar, ini kan negara demokrasi yang tidak menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pemerintahan. Anehnya, sistem seperti ini masih banyak pengikutnya.

Agar tidak pragmatis, seharusnya konstituen membuat pilihan yang tepat. Bukan sekedar memilih partai, caleg atau capres tapi memilih sistem yang baik yang memang mebenar secara hakiki. Sistem Islam pastinya. Dimana baiknya? Karena dijamin Allah SWT. Allah pun memastikan, jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, maka kesejahteraan itu menjadi keniscayaan.

Ini masalah keyakinan. Indonesia banyak penduduk muslimnya. Tapi enggan menjadi muslim kaffah. Enggan menegakkan syariah dan khilafah. Lagi-lagi, ini soal yakin dan tidak yakin. Khilafah akan hadir di tengah-tengah umat. Segera!

Minggu, 08 Februari 2009

Golput, Demokrasi, dan Kesejahteraan


Perdebatan di seputar fatwa haramnya golput oleh MUI beberapa waktu lalu tampaknya masih belum mereda. Pasalnya, MUI sendiri—juga mereka yang berkepentingan terhadap suksesnya Pemilu 2009—seperti melupakan alasan utama di balik kemungkinan maraknya golput pada Pemilu 2009 nanti.

Di luar alasan teknis Pemilu—seperti tidak terdatanya sejumlah calon pemilih—setidaknya ada dua alasan mengapa sebagian masyarakat memilih golput. Pertama: alasan ekonomi. Intinya, sebagian kalangan yang memilih golput sudah semakin sadar, bahwa Pemilu, termasuk Pilkada, tidak menjanjikan kesejahteraan apapun bagi rakyat. Bagi mereka, selama ini terpilihnya para wakil rakyat, kepala daerah, atau presiden dan wakil presiden yang serba baru tidak membawa perubahaan apa-apa yang bisa sedikit saja meningkatkan kesejahteraan rakyat. Padahal, sebagaimana dikatakan pengamat politik J Kristiadi, “Harapan masyarakat sebenarnya sederhana. Begitu mereka nyoblos atau mencontreng, kesejahteraan mereka bisa menjadi lebih baik dengan pemerintahan terpilih. Kenyataannya, ada ruang yang sangat luas dan terkadang manipulatif (menipu, red.) antara Pemilu dan kesejahteraan itu.” (Kompas, 2/2/2009).

Kedua: alasan ideologis. Bagi calon pemilih yang golput dengan alasan ini, Pemilu (baca: demokrasi) tidak akan pernah menjanjikan perubahan apapun. Pasalnya, demokrasi hanya semakin mengokohkan sekularisme. Padahal sekularismelah yang selama ini menjadi biang dari segala krisis yang terjadi. Sekularisme sendiri adalah sebuah keyakinan dasar (akidah) yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim, sekularisme telah nyata menjauhkan syariah Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, pendidikan, peradilan, sosial, dll).

Padahal mayoritas rakyat Indonesia yang Muslim sesungguhnya menyetujui penerapan syariah Islam itu di negeri ini. Hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei seperti PPIM UIN Syarif Hidayatullah (2001), Majalah Tempo (2002). Roy Morgan Research (2008), SEM Institute (2008), LSM Setara (2008), dll yang rata-rata menunjukkan bahwa 70-80% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam dalam negara (Lihat kembali: Al-Islam, Edisi 434/XII/08). Dalam hal ini, pengamat politik Bima Arya mengatakan, adanya survey yang menyebutkan mayoritas masyarakat di Indonesia mendukung syariah memang cukup masuk akal. “Itu terjadi karena adanya kejenuhan dari masyarakat terhadap sistem yang ada,” ujarnya (Eramuslim, 19/12/08).

Pertanyaannya, jika mayoritas masyarakat saat ini pro-syariah, lalu mengapa partai-partai Islam tetap kalah dari partai-partai sekular pada Pemilu 2004 lalu dan kemungkinan juga pada Pemilu 2009 nanti? Jawabannya, karena boleh jadi mereka melihat tidak adanya satu partai Islam pun yang sungguh-sungguh memperjuangkan penerapan syariah Islam di Indonesia. Barangkali, karena itulah, di antara mereka yang pro syariah ini lebih memilih golput.

Walhasil, kenyataan inilah yang seharusnya dipahami oleh MUI terlebih dulu—juga oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu—yang menolak golput.
Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam secara kâffah dalam negara tentu merupakan kewajiban dari Allah SWT yang dibebankan kepada kaum Muslim. Kewajiban inilah yang sesungguhnya lebih layak difatwakan oleh MUI dan tentu selaras dengan fatwa MUI tahun 2005 yang telah memfatwakan haramnya sekularisme.
Demokrasi: Memiskinkan Rakyat

Kondisi masyarakat yang miskin alias tidak sejahtera jelas dialami oleh sebagian rakyat Indonesia saat ini. Padahal semua orang tahu, Indonesia adalah negeri yang kaya-raya. Seluruh jenis barang tambang nyaris ada di Indonesia. Minyak bumi, gas, batubara, emas, tembaga dan beberapa yang lain bahkan ada di negeri ini dengan kadar yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia berupa ikan dan hasil-hasil laut lainnya juga luar biasa. Indonesia pun memiliki areal hutan tropis yang sangat luas. Dengan semua kekayaan alam yang melimpah-ruah itu, rakyat Indonesia seharusnya makmur dan sejahtera, dan tidak ada yang miskin.

Namun, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis sejak negara ini merdeka, sebagian besar kekayaan alam yang melimpah-ruah itu hanya dinikmati oleh segelintir orang, yang sebagian besarnya bahkan pihak asing. Contoh kecil: Di Bumi Papua, kekayaan tambang emasnya setiap tahun menghasilkan uang sebesar Rp 40 triliun. Sayangnya, kekayaan tersebut 90%-nya dinikmati perusahaan asing (PT Freeport) yang sudah lebih dari 40 tahun menguasai tambang ini. Wajarlah jika gaji seorang CEO PT Freeport Indonesia mencapai sekitar Rp 432 miliar pertahun (=Rp 36 miliar perbulan atau rata-rata Rp 1.4 miliar perhari). Padahal, rakyat Papua sendiri hingga saat ini hanya berpenghasilan Rp 2 juta saja pertahun (=Rp 167 ribu perbulan). Pemerintah Indonesia pun hanya mendapatkan royalti dan pajak yang tak seberapa dari penghasilan PT Freeport yang luar biasa itu (Jatam.org, 30/3/07).

Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT ExxonMobile Oil yang sudah berdiri sejak 1978, Namun, Aceh menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia. Jumlah penduduk miskinnya sekitar 28.5 persen.

Itulah secuil fakta ironis di negeri ini, yang puluhan tahun menerapkan demokrasi, bahkan terakhir disebut-sebut sebagai salah satu negara paling demokratis di dunia.

Ironi ini sebetulnya mudah dipahami karena watak demokrasi di manapun, termasuk di negeri ini, secara faktual selalu berpihak kepada para kapitalis/pemilik modal. Demokrasi di negeri ini, misalnya, telah melahirkan banyak UU dan peraturan yang lebih berpihak kepada konglomerat, termasuk asing. Di antaranya adalah melalui kebijakan swastanisasi dan privatisasi. Kebijakan ini dilegalkan oleh UU yang notabene produk DPR atau oleh Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden sebagai pemegang amanah rakyat. UU dan peraturan tersebut memungkinkan pihak swasta terlibat dalam pengelolaan (baca: penguasaan) kekayaan milik rakyat. Sejak tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya antara lain ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen.

Secara tidak langsung demokrasi juga sering menjadi pintu bagi masuknya intervensi para pemilik modal, bahkan para kapitalis asing. Lahirnya UUD amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan. Ditengarai ada dana asing USD 4,4 miliar dari AS untuk mendanai proyek di atas. Hasilnya, lahirlah UU Migas, UU Listrik dan UU Sumber Daya Air (SDA) yang sarat dengan kepentingan asing. Dampaknya, tentu saja adalah semakin leluasanya pihak asing untuk merampok sumber-sumber kekayaan alam negeri ini, yang notabene milik rakyat. Dampak lanjutannya, rakyat bakal semakin merana, karena hanya menjadi pihak yang selalu dikorbankan; hanya menjadi ‘tumbal’ demokrasi, yang ironisnya selalu mengatasnamakan rakyat.
Rakyat Sejahtera Hanya dengan Syariah Islam

Dengan sedikit paparan di atas, jelas bahwa jika memang semua kalangan menghendaki terwujudnya kesejahteraan rakyat—sebagaimana yang juga sering dijanjikan oleh para caleg dan elit parpol setiap kali kampanye menjelang Pemilu—maka tidak ada cara lain kecuali seluruh komponen bangsa ini harus berani mencampakkan sekularisme, yang menjadi dasar dari sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Selanjutnya, seluruh komponen bangsa ini harus segera menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam negara; baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, peradilan, sosial, keamanan dan pertahanan, dll. Yakinlah, hanya dalam negara yang menerapkan syariah secara kâffah-lah—yang dalam sistem politik Islam disebut dengan sistem Khilafah—kesejahteraan rakyat bakal benar-benar terwujud.

Bukti historis menunjukkan, sistem syariah telah mampu menciptakan kesejahteraan bagi jutaan manusia pada setiap kurun Kekhilafahan Islam pada masa lalu selama berabad-abad, tanpa pernah mengenal kata krisis.

Pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan rakyat merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M), hanya dalam 3 tahun umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).

Pada masanya pula, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).
Mahabenar Allah Yang berfirman:

Seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami pasti akan membukakan pintu keberkahan bagi mereka dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Dikutip dari http://hizbut-tahrir.or.id/2009/02/06/golput-demokrasi-dan-kesejahteraan/

Rabu, 28 Januari 2009

Kecurangan, Lazim dalam Demokrasi


Kecurangan menjadi sebuah kelaziman terjadi dalam sistem demokrasi. Gimana nggak lazim, kecurangan itu bahkan telah tersistem dengan rapi terstruktur karena melibatkan aparat birokrasi.

21 Januari lalu, di Bangkalan dan Sampang, dilakukan pemungutan suara ulang. Sesuai putusan MK. Dalam pemungutan suara itu, Kapolda Jatim menemukan pemilih umur di bawah 17 tahun ikut mencoblos di Bangkalan. masih di kabupaten yang sama hanya TPSnya beda, Ketua Panwas Pilgub Jatim juga menemukan hal yang sama. Pemilih di bawah umur memberikan suara yang sebenarnya bukan haknya. Tapi apa tindakan panwas? Ketua Panwas Pilgub Jatim yang waktu itu saya wawancara mengatakan, sulit melakukan penindakan, karena kesalahan terjadi di awal saat verifikasi data pemilih. Maksudnya, pemilih yang berusia di bawah umur tadi sejak awal telah terdaftar sebagai pemilih meski umurnya belum 17 tahun. Petugas verifikasi lalai (tepatnya sengaja lalai) melakukan proses verifikasi data pemilih, sehingga pemilih anak2 ini lolos dalam Daftar Pemilih Tetap.

Kasus2 yang sama (saya yakini) juga terjadi di banyak tempat. Dan asal tahu saja, kasus2 yang demikian itu terjadi di pondok pesantren. Sy jadi teringat joke seorang pengamat politik Unair, Kacung Marijan yang pernah bilang, para kyai sekarang tidak lagi jadi kyai khos tapi sudah berubah jadi kyai cost. Naudzubillah...

Inilah yang saya katakan, betapa kecurangan itu terjadi dengan sangat sistematis & terstruktur. Itu juga yang saya pamahi, kenapa Tim KAJI ngotot menggugat hasil pilgub. Untuk apa demokrasi diagungkan, jika sudah jelas dan sangat nyata, kecurangan menjadi bagiannya? Kenapa orang masih berharap pada demokrasi, jika jelas terlihat, tidak ada manfaat sedikitpun bisa diambil dari sistem demokrasi yang bobrok dan kotor itu?

Padahal Islam telah menawarkan sebuah sistem yang jauh lebih sempurna, jauh dari kecurangan dan permainan kotor lainnya. karena sistem ini dibuat oleh Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT. kenapa orang tidak mau memilih Islam sebagai sistem kehidupan, termasuk sistem untuk memilih pemimpin? Atau dalam diri kita, sudah lekat demokrasi itu dengan kapitalismenya. Atau justru kita menjadi bagian yang menikmati demokrasi itu dan meraih sebesar2 manfaat darinya? Sehingga sulit bagi kita untuk melepaskan diri dari demokrasi dan kapitalisme?

Ingatlah, bahwa Allah akan meminta pertanggung jawabkan kita atas semua amal di dunia. Apakah Allah akan toleran ketika kita memilih sistem selain Islam? tentu tidak, karena penerap sistem kufur hanya neraka tempatnya.

Minggu, 18 Januari 2009

AKSI KAMPANYE KHILAFAH


Sekitar 1000 muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Minggu (18/1) menggelar aksi ”Kampanye Khilafah Hentikan Genosida Kaum Muslim Pembantaian Perempuan dan Anak”. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk keprihatinan muslimah HTI pada upaya genosida (pemusnahan manusia secara massal) yang dilakukan Israel dalam serangan ke jalur gaza Palestina, yang sampai sekarang sudah menelan korban 1000 syuhada, sebagian diantaranya perempuan dan anak-anak.
Nurul Izzati, S.Kom, Ketua DPD I Jatim Muslimah HTI mengatakan, solusi untuk mengatasi kebrutalan serangan Israel terhadap Palestina adalah dengan jihad dan khilafah. Solusi diplomasi yang dilakukan selama ini tidak efektif karena terbukti 60 resolusi yang dikeluarkan PBB dilanggar Israel dan berulang kali AS menveto atau abstain terhadap resolusi genjatan senjata Israel. Muslimah HTI menilai PBB sudah terbukti tidak efektif dan tidak mungkin PBB membuat keputusan memihak kepada Palestina karena PBB lah yang mendirikan negara Israel melalui resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum no 181 tanggal 29 oktober 1947. Berharap pada OKI pun tidak mungkin karena OKI tidak mempunyai kekuatan riil, bahkan Juli 2006 resolusi 57 negara anggota OKI kepada PBB tentang kecaman Israel yang disetujui DK PBB, kemudian diveto oleh AS.
Mengapa harus Khilafah solusinya? Menurut CIA The Word Fact Book, potensi kekuatan militer negeri Islam cukup besar. Gabungan 6 negara saja yaitu Indonesia, Turki, Irak, Iran, Pakistan& Indonesia mencapai 162 juta padahal jumlah negeri muslim lebih dari 50. Sementara Potensi militer negara AS, penyokong negara Israel hanya79 juta dan Israel 1,5 juta laki-laki dan 1,4 juta perempuan. “Jadi potensi militer kaum muslim sebenarnya cukup besar, hanya permasalahannya TIDAK BERSATU dibawah satu kepememimpinan politik secara riil. Karena itu, HANYA butuh KHILAFAH sebagai solusi.”
Muslimah HTI kampanyekan Khilafah sebagai solusi menghentikan genosida kaum muslim dalam pembantaian perempuan dan anak secara nasional dengan berbagai kegiatan diantaranya bedah buku, seminar, tabligh akbar, mimbar terbuka di kampus-kampus. Di Surabaya, aksi dipusatkan di Taman Apsari Minggu (18/1) dengan tabligh, mimbar terbuka, aksi teatrikal, dan sebar leaflet yang melibatkan 1000 massa.

Rabu, 10 Desember 2008

Kelaparan, akibat kapitalisme


FAO: Tahun ini jumlah orang kelaparan di dunia meningkat menjadi 963 juta jiwa (Al Jazeera, 09/12/2008). Sungguh data yang sangat memilukan. 963 juta jiwa bukanlah angka yang kecil. Apa penyebabnya?
Bisa jadi karena distribusi pangan yang tidak merata. Banyak diantara kaum muslim yang kelebihan makanan dan berganti-ganti menu makan di restauran, tapi lebih banyak diantara kaum muslim yang kelaparan. Penyebab lain, daya beli masyarakat yang rendah. ini karena tidak punya penghasilan, dan negara tidak memberi jaminan. Sehingga untuk mereka tidak mampu membeli bahan makanan. Atau karena individualisme masyarakat sangat tinggi, sehingga tak memperdulikan orang lain yang membutuhkan makan.
Banyak lagi faktor lain yang menyebabkan kelaparan. Dari sekian banyak faktor tadi, bisa disimpulkan, penyebabnya adalah karena penerapan sistem kapitalisme. Kok bisa?
Mari kita telaah bersama. Sistem kapitalisme dengan berbagai turunannya seperti individualisme, liberalisme, demokrasi berawal dari sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Artinya, Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan ini (menurut sekulerisme) dilarang turut campur dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam berbagai literatur disebutkan, sekulerisme berawal dari beralihnya pemusatan pemikiran dari gereja, karena salah berteori tentang kehidupan.
Karena menafikkan Allah sebagai pengatur kehidupan, para kapitalis (pemilik modal) yang akhirnya mengambil peran. Dengan modal yang mereka miliki, mereka membuat aturan kehidupan yang tentu saja menguntungkan diri sendiri. Karena sifatnya sangat jelas, individualis (mementingkan diri sendiri) dan liberal (bebas). Sehingga wajar dalam sistem ini menimbulkan banyak distorsi (penyimpangan) yang mengakibatkan berbagai permasalahan. Kelaparan diantaranya.
Selain itu, negara tidak lagi mau ikut campur mengurusi masalah rakyat. Karena dalam sistem kapitalis, negara tidak lebih hanya fasilitator, dan melepas tanggung jawabnya sebagai pengurus masalah umat.
Berbeda dengan sistem Islam. Seorang kholifah wajib bertanggung jawab mengurusi masalah umat. Kita tahu bagaimana kholifah Umar Bin Khoththob yang memanggul sendiri gandum, memasakkan dan menghidangkannya kepada seorang ibu dan anak2nya yang kelaparan. Dalam syariah (yang dituntun dengan aturan Allah), seorang pemimpin umat wajib memastikan setiap orang di negerinya bisa makan, tercukupi sandang, pangan dan papan. Jika ia lalai maka dianggap tidak capable mengurus masalah umat.
Negara juga berkewajiban memberikan lapangan kerja yang seluas-luasnya supaya rakyat bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu memenuhi kehidupan sehari-hari keluarganya. Fasilitasi negara adalah dalam pendidikan dan kesehatan, yang harus tersedia dengan gratis dan cukup.
Selain itu dalam Islam, diwajibkan seseorang memenuhi hak tetangganya. Jika ia lali pada urusan tetangganya atau membiarkan tetangganya dalam kesusahan (atau besikap individualis) maka ia mendapatkan dosa.
Inilah aturan Islam. Yang menjamin, tidak boleh ada penduduk kelaparan. Karena aturan ini bersumber pada pemilik alam semesta, Allah SWT.
Jadi satu-satunya solusi untuk mengatasi kelaparan adalah, kembali kepada syariah Islam. Tetapi, syariah tidak bisa ditegakkan secara sempurna tanpa sebuah sistem yang menaungi, yakni Khilafah. Jadi perjuangkan syariah dan khilafah!

Jumat, 05 Desember 2008

Tsunami Itu Datang Lebih Cepat


"Tsunami itu datang lebih cepat dari yang kita perkirakan," kata seorang ahli ekonomi FE Universitas Airlangga kemarin (5/12). Ia mengatakan itu pada saya sambil tertunduk lesu. Tsunami yang ia maksud bukan badai raksasa seperti yang memporakporandakan Aceh 2004 lalu, tapi daya rusak dan luasan gelombangnya jauh lebih dahsyat. Tsunami yang menciptakan krisis ekonomi global di seluruh dunia.
Ahli ekonomi yang sudah bergelar doktor ini menyebutkan, dampak krisis keuangan global (yang membuat Amerika sekarat dan sulit pulih sampai sekarang) sampai lebih cepat di Indonesia. Padahal para ahli ekonomi memprediksi, dampak krisis baru akan terasa tahun 2009. Tapi ternyata, sekarang resesi ekonomi itu sudah di depan mata.
Ada indikasi resesi ekonomi yang terjadi. Pertama, tingkat inflasi turun drastis. Dibandingkan kenaikan inflasi yang tinggi, penurunan inflasi jauh lebih berbahaya. Karena penurunan inflasi mengindikasikan permintaan turun, karena daya beli turun. Jika daya beli masyarakat turun, produksi berkurang. Disinilah dimulai stagnasi ekonomi. Indikasi kedua, PHK massal yang terjadi akhir tahun ini sudah mencapai ratusan ribu buruh. Dampaknya terjadi pembengkakan angka pengangguran, dan masalah2 sosial lainnya.
Well.. inilah saatnya kapitalisme diambang kematian. Ketika kapitalisme telah hancur, siapa sistem penggantinya? Memang perubahan harus dilakukan secara fundamental. Sistem ini harus berubah. Perubahan itu sebenarnya sudah mulai tampak. Eropa bahkan sekarang mulai mengkaji perubahan sistem kapitalisme pada syariah. Demikian juga Hongkong. Kapan Indonesia? Masih berharap pada kapitalisme yang sebentar lagi menjemput ajalnya?
Sooner or later, kapitalisme, sistem yang kufur ini akan tergilas oleh kerakusannya sendiri. Sistem bikinan manusia yang lemah dan rapuh ini sudah tak mampu lagi berkuasa. Penerapan sistem ini sudah meberi dampak buruk dan justru menjauhkan rakyat dari kesejahteraan.
Hanya ekonomi syariah yang mampu bertahan dalam krisis apapun. Selama 13 abad, sistem ekonomi syariah tidak tergoyahkan. Tentu saja ini bisa terjadi, karena sistem ekonomi syariah dirancang oleh Dzat Yang Maha Mensejahterakan Manusia, Allah SWT.
Tapi perlu diingat, sistem ekonomi syariah hanya satu dari bagian persoalan yang tercakup dalam masalah politik. Kalau sistem ekonominya mau berubah, sistem politiknya pun harus berubah. Karena tidak ada yg bisa menerapkan sistem ekonomi syariah secara sempurna jika tidak dalam naungan khilafah (pemerintahan) Islam. Jadi, lebih urgent saat ini, memperjuangkan khilafah yang akan menerapkan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan.